Semua tentang musik mengapa harus teknis, teknis dan teknis. Musisi, musisi dan musisi. Adakah ruang untuk membahas bagaimana pendengar, penonton konser dan pengunduh berpikir tentang musik? Tentang bagaimana secara manusiawi musik dengan segala budaya dan gaya hidupnya didengarkan? Adakah kajian jalanan yang sangat bajakan seperti mp3 yang mewabah, dihujat namun diunduh di belahan dunia manapun? Tempat ini mungkin inginnya seperti itu... hanya hampir... belum tepat sepenuhnya.

Retrologi

Pada sebuah forum yang amat terhormat bernama angkringan, seorang teman mengutarakan analisa yang hebat sekaligus membuat saya amat gelisah. Betapa tidak, ini menyangkut masa depan kehidupan musik dan segala industrinya di masa depan. Intinya menurut dia, kondisi perulangan tren musik kali ini sudah keterlaluan. “Kok bisa?” saya tanya. Pondasi pemikirannya bermula dari begitu banyaknya band atau musisi yang mengusung jenis musik yang pernah sukses ataupun setengah sukses ataupun tidak sukses dari masa lampau entah 10, 20 atau 30 tahun lalu, lengkap dengan selera aransemen, pilihan tata suara, gaya busana plus potongan rambut. Retro, begitu khalayak mengenalinya.

Lantas apa masalahnya? Kawan itu melanjutkan, apakah band/musisi itu memainkan gaya retro karena benar-benar berkomitmen total pada musik yang diulangnya dari daftar panjang sejarah musik dunia atau sekedar mengulang tren kesuksesan dari musisi lain karena memang sudah benar-benar kepentok dalam proses musik dan terlalu bodoh untuk menemukan formula baru dalam bermusik? Atau malah ikut-ikutan saja? (yang terakhir ini mending kelaut aja!). Itu baru secara teknis, belum membahas tentang yang lebih esensial seperti ideologi. Wah?

Kita masih bisa mengingat, setidaknya yang saya alami sendiri, betapa segarnya dunia musik ketika diperkenalkan musik yang dibawakan oleh sebuah grup bernama The Police, lalu dahsyatnya gempuran musik cadas di akhir 80-an sampai 90-an, lanjut dengan asiknya riff minimalis yang ringan agak berantakan namun sangat bertenaga seperti yang dibesut oleh Nirvana atau Pearl Jam. Itu baru contoh kecil dari ‘hanya’ 20 tahun terakhir. Proses musik seperti apa yang membuat mereka menemukan ramuan musik itu?

Indonesia mencatat sebuah grup yang sangat sukses dengan gaya 70-an. Ya, anda betul, Naif. Luar biasa menyaksikan sepak terjang mereka mengangkat diferensiasinya. Konsisten dan sungguh terasa bagaimana mereka bekerja dengan cintanya terhadap musik mereka. Lalu mulai muncul sebuah grup yang hanya tampilannya saja yang 80-an tapi saya sangat tidak yakin dengan komitmen mereka terhadap musik karena mereka lebih terasah sebagai penyiar lalu presenter yang gemar membanyol, bukannya musisi. Pasti anda tau, lah... 5000 dapet apaan? Yang macam begini yang mengkhawatirkan. Terlebih sekarang makin banyak saja yang ikut asik ber-retro-retroan. Bahkan lagu-lagu Naif pun sudah dibikin album a tribute to-nya. Hei, bangun! Tentu anda-anda semua lebih pintar dan bisa membedakan mana yang asik mana yang konyol.

Kawan jenius dari angkringan itu menambahkan, setelah milestone yang ditancapkan (ini hanya sebagian kecil, ya) Frank Sinatra, The Beatles, dan terakhir anggap saja Nirvana, musisi yang layak mendapat cap “gila, keren banget!!!” adalah Damon Albarn dengan proyek Gorillaz-nya. Tentu anda mengerti apa yang dimaksud. Kawan tadi meramalkan bahwa generasi 20 tahun kedepan akan mengagumi Damon seperti kita tak habis pikir tentang bagaimana John Lennon berkarya.

Kalau tidak segera ditemukan formula musik baru, yang sungguh-sungguh baru, bukan hanya nama pemberian media saja atau bahkan lebih nekat dengan menamai sendiri musiknya, kekhawatiran akan hancurnya industri musik jelas menghadang. Saya sudah mulai bosan dengan apa yang saya dengar tiap hari, dari radio, CD player, MP3 kawan, apalagi TV. Dan saya yakin banyak yang merasa bosan seperti saya. Bosan dengan segala perulangan. Tapi yang muncul dengan kampanye ‘extremely brand new’ cuma badut-badut fashion yang tidak jelas kemana juntrungnya. Wajar bila tiga tahun terakhir saya sangat jarang lagi membeli CD, bukan karena MP3, tapi saya terlanjur apatis dengan industri musik dan musisinya. Koleksi lagu lama saya masih sangat oke buat telinga. Dan entah kenapa sekarang begitu banyaknya lagu cover version? Gejala apa lagi? Gawat!!!

Tidak ada komentar:

suprsynthQuantcast