Semua tentang musik mengapa harus teknis, teknis dan teknis. Musisi, musisi dan musisi. Adakah ruang untuk membahas bagaimana pendengar, penonton konser dan pengunduh berpikir tentang musik? Tentang bagaimana secara manusiawi musik dengan segala budaya dan gaya hidupnya didengarkan? Adakah kajian jalanan yang sangat bajakan seperti mp3 yang mewabah, dihujat namun diunduh di belahan dunia manapun? Tempat ini mungkin inginnya seperti itu... hanya hampir... belum tepat sepenuhnya.

Mari Kita Kepung Musik Indonesia

Saya pusing, lagi - lagi karena acara musik di televisi Indonesia tercinta. Sekali - sekalinya saya mencoba mengupdate tentang grup dan musisi yang semakin gila banyaknya, -- yang Bens Leo sampai menyebutkan bahwa Indonesia adalah negeri seribu band dilihat dari 3000 demo album musik yang masuk ke mejanya dalam tiga bulan saja -- saya malah sedih melihat acara TV yang berisi penampilan live dan video klip dari musisi kita sekarang ini.

Mulanya begini, saya segarkan pikiran dan mulai menyaksikan. Band pertama, lagu beraransemen pop aman, lirik berbahasa mudah, personilnya manis - manis walaupun kalau dilihat gesturnya agak tidak musikal karena lebih mirip cover boy. Walaupun saya tidak berhasil mengingat bagian terhebat yang ada dalam lagu itu yang mungkin ada di reffrain-nya, saya masih bertahan. Lanjut ke video klip grup berikutnya, kok lagunya, warna vokalnya, gimmick beat, bahkan fashionnya hampir mirip ya? Setelah iklan, grup penampil langsung selanjutnya disambung grup lagi berikutnya. Disini saya merasakan kejanggalan. Sekiranya host acara tidak menyebutkan bahwa band berganti, atau label nama band dan judul lagu tidak ditampilkan di layar, saya terpaksa menyatakan bahwa dua lagu dari dua grup yang berbeda itu sangat pantas dirampai dalam satu album. Atau lebih ekstrimnya begini: tidak ada perbedaan atau variasi yang bisa membedakan keduanya. Siapa mengikuti siapa? Atau dua-duanya juga cuma hanyut dalam selera yang diharapkan bisa laku di pasaran? Tapi kalau pendengar pun tak mampu membedakan, mana bisa mereka dipilih oleh pendengar?

Apa yang terdengar belakangan ini, sebuah grup sukses dengan gaya menyanyi melayu. Masalahnya bukan disitu. Itulah gaya dan karakter mereka. Tapi kok tiba - tiba banyak yang ikut - ikut dan berharap ikut laku juga. Musik seperti cabang seni yang lain, adalah tentang kreatifitas juga. Kalau belum mampu menemukan yang baru, gali saja dari sekian banyak pola kesuksesan grup lama, kemudian mix and match, tambahkan beberapa unsur kecerdasan alami, dan tentu saja kejujuran terhadap karakter pribadi. Bukan hal yang susah bila anda menganggap diri anda seorang musisi yang harus bertnggungjawab terhadap profesi dan tidak malas untuk belajar. Sukses tidak akan instan, proses menentukan hasil.

Disini tidak akan diributkan apakah ini ulah industri musik atau bukan. Produser adalah orang - orang yang memikirkan dan mempengaruhi bisnis musik yang akhirnya menghidupi musisinya juga. Tapi kekuatan industri juga bisa digoyang oleh pelaku musik sendiri untuk mengepungnya dengan karya - karya yang ciamik. Ingatkah anda gerakan pop kreatif 80an yang digawangi Dian PP dan Dedi Dukun, Fariz RM dengan Jakarta Rhythm Section, Indra Lesmana, Imaniar dan lain - lainnya yang waktu itu bertujuan mengepung pop cengeng dan bereksplorasi sendiri - sendiri namun dengan gerakan yang kolektif agar musik pop Indonesia lebih variatif. Dan hasilnya adalah karya abadi yang sampai sekarang masih sangat enak didengarkan. Inilah saat yang tepat untuk mencetuskan hal yang sama. Apalagi dengan keunggulan teknologi informasi saat ini. Dan untuk saya pribadi, akhirnya mencari dengar musik di lokasi selain televisi jadi sangat menyenangkan, lebih banyak yang stand out of the crowd walaupun kurang terpublikasi oleh media jalur utama. Syukurlah masih ada yang tidak malas berpikir dan mari kita kepung musik Indonesia.

Musisi Harus (Lebih Banyak) Bicara

Dari Peluncuran Album Balada Joni dan Susi - Melancholic Bitch

19 November lalu saya menyaksikan peluncuran album sebuah grup lawas Jogjakarta. Lawas disini kita anggap saja minimal sudah sepuluh tahun sejak berdirinya eksis di persilatan musik lokal. Dan memang sudah sepuluh tahun mereka ada, dan ini adalah albumnya yang kedua. Saya tak cukup mampu mengulas bagaimana musik mereka. Menurut saya cukup enak didengarkan dan masuk lah dalam daftar panjang nan labil selera musik saya.

Yang menarik, sepanjang perjalanan berangkat bersama teman wartawan majalah kondang dan sedikit bicara tentang pertunjukan itu ketika menuju pulang. Hal yang dikomentarkan Mas Wartawan adalah komunikasi yang punya pertunjukan terhadap yang menyaksikan. Mas Wartawan menjelaskan bahwa ini adalah gejala umum dari musisi lokal yang melakukan rilis produk kreatif mereka, mungkin atas nama aslinya teman - teman musisi kita memang rendah hati dan tidak ingin tampak sombong dan sok tahu. Mas Wartawan menggugat itu, menurutnya seseorang dari dapur kreatif harus menjelaskan banyak hal tentang karyanya, agar pendengar mendapat informasi sebanyak - banyaknya dari yang punya karya, bukan untuk menggiring ide penonton, tapi demi kelancaran promosi mereka sendiri, yang tertuang dalm tulisan - tulisan, review dan liputan teman - teman media. Band yang baru saja tampil dianggap terlalu sedikit bicara bahkan pada saat sesi wawancara, hanya vokalisnya saja yang banyak membagi info. Bahkan yang bersangkutan di bidang kreatif dapur produksi, ditulis hanya "cengengesan" oleh kawan wartawan tersebut di liputannya yang tertuang di situs majalah kondang itu.

Sebenarnya menurut saya pertunjukannya luar biasa. Penonton yang hadir sudah mengenal sejak lama grup yang launching album itu. Bisa menikmati, ikut nyanyi di beberapa bagian, tepuk meriah dan keakraban yang hangat seusai pentas. Merchandise dan CD album laku dengan angka yang kira - kira baik kalau dilihat dari yang merubung booth jualan. Namun, kembalikan pada hal ini: apakah album itu hanya dipersembahkan untuk komunitas terbatas yang ada di venue yang sudah jelas mendukung grup tersebut sejak lama -- karena kenal atau memang menyukai lagu - lagunya -- atau memang dipersiapkan untuk menembus lingkaran pendengar yang lebih luas? Silakan dijawab sendiri...

Koreografi Luar Panggung?

Yeah.. untuk ukuran saya yang sangat jarang menonton televisi selain berita dan pertandingan sepakbola, hal yang lumayan menggembirakan ketika suatu saat saya menyaksikan ada program musik di sana. Saya sangatlah ketinggalan dalam hal ini, sebelumnya saya hanya dengar dari teman - teman, ada hybrid music programme (ini istilah ngawur saja) yang menjamur di hampir semua saluran TV swasta. Sebut saja DeRings, Dahsyat, InBox, dan apalah lagi saya tidak begitu mengingat. Intinya kurang lebih sama, sebuah acara musik, dengan presenter yang asik masa kini, ada yang cantik atau tampan, ada yang lucu jago banyol demi keperluan tahan basi. Penampil adalah grup atau penyanyi yang sedang naik atau dinaikkan, diseling dengan pemutaran video klip, bisa divariasi dengan wawancara kasual, dan iklan tentu saja.
Sebenarnya sudah bisa saya mulai menikmatinya, atas nama cinta saya terhadap musik apapun bentuknya, Juga atas kerinduan saya terhadap acara musik di layar kaca, setelah sekian lama seperti mati suri karena slot - slot itu diisi oleh commercial break, yang pastinya membayar lebih mahal dalam durasi yang lebih pendek dibanding video klip yang mungkin anggaran promosinya tidak begitu tersokong oleh produser masing - masing. Masih ingat betul, setelah era Video Musik Indonesia yang legendaris, waktu itu dibawakan oleh Dian Nitami, saya hampir tak mendapatkan pengalaman sejenis untuk musik Indonesia.
Acara - acara itu lumayan secara produksi, di dalam studio, dengan set antara penggemar dan yang digemari hampir tak berjarak. Nah, disini ssaya kadang menemukan sesuatu yang agak fals: sepertinya orang - orang yang berkerumun di sekeliling penyanyi atau grup yang sedang beraksi tampak seragam gerakan mengikuti musiknya? Apakah anda juga perhatikan? Sekilas tampak enak dan nyaman, get in to the beat, tapi kelamaan kok terlihat sintetis ya? Sepertinya ada yang menata gerak mereka, dan ada komandan gerak terselip diantara penonton.
Memang tidak ada pakem khusus untuk bergoyang ikut irama. Namun ketulusan dan kebebasan, ketidakseragaman gerak, bukankah lebih manusiawi dan sesuai khittah menikmati musik? Sepakatkah anda, ini bukan Paskibraka yang bahkan lirikan mata saja harus selaras?
Tapi saya juga tidak tahu pasti apa kebutuhan produser untuk menampilkan itu. Mungkin ada kebutuhan visual tertentu yang diharapkan, yang luput dari pengamatan saya yang sangat subyektif.
Untuk produksi acara yang bisa mendatangkan iklan sebanyak itu, dan bisa mengangkat popularitas musisi, saya pikir keseragaman gerak penonton itu, tidak salah, tidak jelek, tepatnya.... aneh.

Di Dunia Ini Ada Supergrup

Seorang kawan pernah berkata, "When everybody loves U2, i'd rather be with The Rolling Stones... and now, still I listen to them." Tentu saja sang kawan tidak bermaksud membandingkan TRS dan U2. Ini hanya masalah selera. Keduanya adalah wakil musik jaman yang stand out of the crowd, yang tembus sampai jauh beberapa dekade dan generasi. Ya, mereka adalah super grup. Mungkin maha grup juga.

Anda boleh keberatan dengan paparan tadi, sekali lagi, saya sangat menghargai pendapat. Yang bisa disamakan disini adalah kenapa di dunia ini ada grup musik yang begitu hebatnya secara pencapaian, pendapatan, dan pengabdiannya kepada dan melalui industri musik. Kalau dipetak - petak menjadi tiap satu dekade saja, berapa ribu grup di dunia ini yang terbit, disaring oleh rimba bisnis dan kekejaman penikmat musik diseluruh dunia, tinggal berapa yang masih bisa eksis, minimal tidak bubar walaupun tidak mencetak karya lagi, dan kapan - kapan bisa reuni kalau sudah benar - benar kesulitan cari sandang pangan.

Luar biasanya dua grup diatas -sekali lagi dua - duanya cuma contoh- adalah bagaimana cara mereka bertahan dari gelombang gempuran grup dan musisi yang kalau dianalisa ngawur, mungkin ada 1 album rilis tiap menitnya di muka bumi ini. TRS merilis album self-titled nya tahun 1964, dan sampai tulisan ini dibikin sudah 25 album diluncurkan dan berpuluh album kompilasi dan live recorded. Yang gila adalah, mereka bisa menjawab pergeseran kegairahan pasar pendengar yang sangat tidak abadi seleranya, tanpa kehilangan gaya dan attitude nya. Mungkin ini salah satu resep mereka. Kreatifitas yang tak kenal kering, konsistensi bertahan dengan kondisi yang pastinya pasang surut, solidaritas brother in arms yang menahan mereka bersatu lebih dari 40 tahun walaupun ada skandal pemecatan Brian Jones. U2 juga gila, tidak pernah habis Bono dan gengnya dalam hal karya nyata musik dan propaganda. Bahkan di usia yang sudah pantas jadi opa, konser tur 360 di Barcelona beberapa waktu lalu, 90.000 tiket habis dalam 54 menit saja!

Kecintaan terhadap musik dan karya, itu yang bisa kita tarik. apapun caranya, lepas dari bagaimana publisis mereka yang cerdas menjualkan citra, adalah harga yang mereka harus bayar untuk keabadian di ranah musik dunia. Dan sungguh lega melihat acara TV yang menampilkan God Bless reuni, memainkan single terbarunya, ayo Om, ngerock lagi!!

Manusia Jaman Kaset

Saya masih ingat dengan jelas, dan sampai sekarang pun masih banyak di boks yang sudah tidak pernah saya buka, saya punya koleksi kaset yang lumayan banyak. Ya, kaset, bukan CD apalagi MP3 seperti yang sekarang menemani saya menulis. Karena saya memang anak jaman era itu, yang cara memanjakan kebutuhan telinga dan menambah pengetahuan tentang musik hanya bisa diakses melalui radio, toko kaset dan Majalah HAI. Lucu memang, waktu itu tidak ada referensi selain HAI, walaupun kadang bisa membaca Circus atau Kerraaang!! dari koleksi om saya atau teman-temannya walaupun mereka beli bekas dari pasar loak. Lumayan lah buat tambah ngerti tentang sedang ada apa di musik dunia walaupun yang dibaca adalah kabar setengah tahun sebelumnya. Setiap membaca majalah, saya selalu iri pada wartawan yang bisa masuk konser untuk liputan, terutama sama Daus HAI, yang ID card wartawannya selalu dilampirkan juga di setiap tulisannya. Saya menganggap dia adalah sumber info musik mancanegara, karena tidak ada internet seperti sekarang yang kita bisa googling kabar, lanjut mengunduh lagu terbaru dari suatu grup bahkan sebelum albumnya dirilis. Jadi wajarlah bila koleksi lagu orang-orang kini lebih fokus, tertata secara selera. Tidak seperti koleksi kaset saya dulu yang kalau dilihat teman saya sekarang jadi tertawaan karena dianggap labil selera musik saya, ada hip hop, banyak rock dan metal, saya punya boyz II men, dan macam-macam lain sampai ada beberapa kaset lawak.

Itu semua terjadi karena susahnya cari referensi waktu itu. Kalau pernah dengar di radio, lumayan ada pratinjau terhadap lagu dan artisnya, jadi tenang ketika datang ke toko kaset, sudah tahu akan membeli apa. Tapi lama kelamaan saya mau lebih, saya datang ke toko kaset dengan uang secukupnya dan kepala kosong mau beli apa. Ketika saya menginginkan rock, saya cari di deretan raknya. Beberapa toko rela membuka sample untuk didengarkan calon pembeli, tapi banyak album yang tidak disokong dengan marketing budget. Saya pernah untung-untungan beli kaset yang saya belum pernah dengar samasekali dan memutuskannya lewat logo grupnya yang sangar, dan ketika sampai dirumah saya kegirangan karena ternyata saya suka. Kemudian harinya saya salah beli kaset hanya karena hal serupa, nama grupnya tidak mencerminkan lagu-lagu yang dibawakannya, sejak itu saya kenal hip hop. Begitu mahalnya belajar di masa lalu.

Masih ditambah dengan ketika inside cover albumnya tidak melampirkan lirik, saya harus mati-matian mencatat lirik dalam Bahasa Inggris, merusak tape saya dengan berulang-ulang menekan pause-rewind-play karena kemampuan bahasa asing saya yang pas-pasan demi bisa mengerti maksud lagunya dan bisa sing along bersama lagu yang saya sukai. Man, waktu itu belum ada lyric search!

Sekarang saya malah kendor mengikuti perkembangan musik, justru ketika kendala-kendala masa lalu untuk belajar itu sudah tidak signifikan. Apa sih yang google tidak tahu? Saya keteteran beradu pengetahuan dengan anak jaman internet sekarang ini. Saya manggut-manggut saja dengar cerita mereka tentang grup ini, penyanyi itu, DJ entahlah, hebat sekali mereka, baru setelah itu saya mengejar sekuatnya. Nasib yang tragis, dahulu kesulitan sekarang tertinggal. Terus kalau ada revolusi teknologi sekali lagi, jadi apa? Apakah orang seperti saya akan kadaluarsa?
suprsynthQuantcast