Semua tentang musik mengapa harus teknis, teknis dan teknis. Musisi, musisi dan musisi. Adakah ruang untuk membahas bagaimana pendengar, penonton konser dan pengunduh berpikir tentang musik? Tentang bagaimana secara manusiawi musik dengan segala budaya dan gaya hidupnya didengarkan? Adakah kajian jalanan yang sangat bajakan seperti mp3 yang mewabah, dihujat namun diunduh di belahan dunia manapun? Tempat ini mungkin inginnya seperti itu... hanya hampir... belum tepat sepenuhnya.

Darimana Kita Belajar Musik?

Tentu anda pernah membaca, atau paling tidak mengenal, atau minimal pernah dengar lah majalah Rollingstone yang legendaris. Majalah itu beberapa kali mencatat daftar album terbaik diantaranya The100 greatest album of the 80's (16 November 1989 ), merilis The Immortals:Fifty Greatest artist of All Time ( 24 Maret 2004 ), dilanjut dengan The Immortals:100 Greatest Artist of All Time ( 7 April 2005 ), The immortals:Indonesian Artist ( 23 September 2008 ), dan daftar panjang lain yang mereka bikin tiap tahun.

Kita dibikin terheran - heran dan sangat dimanjakan dalam hal pengetahuan, sejarah musik dan biografi musisi hebat, dengan tulisan artis lain yang tentu saja masih jauh di bawahnya dalm hal usia, kecuali mau menulis tentang dirinya sendiri. Yang masih sering menjadi perdebatan adalah dengan ukuran apa mereka menetapkan urutan orang - orang hebat itu? Mereka mengetengahkan faktornya adalah most influencing in other's music, album gross, revolutionary issue, dan apa lagi macam - macam yang saya sendiri jadi pusing saat mencoba untuk mengerti.

Hebat memang, bukan hanya sekedar kagum terhadap daftarnya menurut saya, tapi lebih pada kagum betapa banyak musisi hebat di dunia ini. Urutan jadi tidak penting. Membaca tulisan tenteng bagaimana mereka berkarya, rekor - rekor yang terpecahkan, penjualan luar biasa, pengaruh terhadap pendengar dan musisi lain, sampai attitude rock n' roll nya yang bikin merinding. Banyak hal yang saya sepakat, secara instan adalah dilihat dari karya yang masih abadi sampai saat ini walau dicetak 20 atau 30 tahun yang lalu.

Kembali ke negeri tercinta, kenapa cuma 25? Apakah benar musisi Indonesia yang menancapkan catatan hebat cuma 25? Atau penulis majalah Rolling stone kekurangan bahan? Kita tidak tahu pastinya. Bila yang dimaksud adalah international achievement, masuk akal jadinya. Ini cuma masalah akses. dan Rock n" roll memang budaya asli Amerika, negara yang konon tidak punya budaya asli.

Bila menengok ke jauh tahun 70 atau 80an, sebetulnya banyak musisi hebat Indonesia. Karya mereka pun masih enak didengar hingga saat ini. Tapi entahlah dengan laporan penjualan album mereka. Entahlah dengan seberapa dikenangnya merka di kandang sendiri. Kenapa musisi kita mati - matian belajar Black Sabbath untuk referensi tapi tidak mengenal The Rollies? Kenapa sukses mengulik George Michael tapi asing terhadap Deddy Dhukun dan Dian Pramana Poetra? Kenapa serius belajar menulis lagu seperti Kenneth Edmonds, bukan menulis seperti Guruh Soekarno Putra? Bukankah nama - nama yang saya sebut lebih belakang sudah menerjemahkan musik menjadi native untuk pendengar Indonesia? Bukan menyerang anda yang mengkoleksi pangetahuan musisi manca, tapi imbangi lah....

Tapi sedih memang, untuk karya musisi setelah tahun 2000 kok belum ada yang punya tanda - tanda kelak menjadi legenda. Musiknya gitu - gitu saja. Sedikit sekali yang segar dan baru, bahkan banyak rilis yang hampir seragam. Beda grup sama pola. Musisi yang lama dan masih bertahan di persilatan musik malah kehilangan konsistensi berkarya, dengan dalih meremajakan komposisi malah jadinya hanya jualan kharisma lama. Ada juga yang malah sibuk mengorbitkan artis lain dan wira - wiri bikin sensasi demi keseimbangan pangan rumah tangga, dan anehnya yakin menulis tentang dirinya sendiri di The Immortals Indonesia, wah, seharusnya orang itu di terapi, siapa tahu mengidap megalomania complex?

Untuk Penonton UGM Jazz 2008

Sebuah catatan yang agak menyakitkan dari pertunjukan musik yang saya lihat beberapa hari yang lalu. Sebuah event yang bertajuk UGM Jazz 2008 akhirnya berakhir dengan perasaan mangkel ketika saya pulang usai menyaksikan acara itu. Bukan karena tidak puas terhadap penampil acara itu, semua artis beraksi hebat malam itu. Masalahnya terletak pada penyelenggara dan kelakuan hadirin selama pertunjukan berlangsung.

Panitia seperti amatir payah dalam penyelenggaraan acara sekelas itu. Dalam pertunjukan yang berformat penonoton duduk dan menikmati musik yang tidak rewo – rewo layaknya konser tanpa kursi, seharusnya antar penonton tidak terganggu oleh penonoton yang lain. Kenapa bisa terganggu? Penonton semestinya datang sebelum pertunjukan dimulai. Untuk yang datang setelah acara dimulai? Disini saya kecewa pada panitia, kenapa tidak menahan penonton masuk ketika repertoar sedang dimainkan. Masuklah saat sedang jeda antar lagu. Sangat mengganggu kenikmatan menyaksikan aksi musisi diatas panggung bila ada orang sliwar – sliwer di depan dan samping kita.

Sudah cukup begitu? Ada lagi : etika pertunjukan berikutnya adalah tidak menggunakan lampu kilat alias flash ketika mengambil gambar. Kenapa waktu itu sepanjang pertunjukan mata terasa pedih dan kaget oleh kilatan blitz sepanjang pertunjukan. Dan panitia tidak bereaksi dengan kejadian tersebut. Sekali mengumumkan di awal sebelum pertunjukan dimulai dianggap sudah sah. Penonton benar – benar tidk tahu atau tidak mau tahu? Padahal kalau mereka sadar dan berpikir, daya lampu kilat kamera itu sangat tidak mencukupi untuk tingkat keterangan gambar yang mereka harapkan. Kalau tidak percaya, tanyalah fotografer professional atau lihat sendiri hasilnya. Sungguh tidak sebanding dengan mengganggu orang lain. Ada lagi? Kerumunan panitia disamping panggung. Anehnya, terdapat pula yang terhormat MC diantara orang – orang itu. Wah..wah….wahhh……

Sayang sekali, musisi yang sangat virtuoso itu terlewat detilnya gara – gara tingkah aneh diatas. Seorang penonton bule marah - marah terus sepanjang pertunjukan. Tapi ini bukan masalah bule atau pribumi. Mungkin suatu waktu perlu diadakan kelas –kelas etika menonton pertunjukan, dari menonton kebakaran pingir jalan sampai menonton opera. Catatan unik lagi-yang ini tidak mengganggu tapi lucu- seorang mbak di sebelah saya bertanya kepada temannya ketika Trisum diperkenalkan, siapa sih Donny Suhendra? Hahahahahha……..

Pesta Bodoh Kompetisi Musik

Hanya bermodalkan sebuah Oxford Learner’s Pocket Dictionary, saya yakin dari kamus yang lain juga tidak berbeda jauh, maka bolehlah kira-kira begini: competition adalah kegiatan saling bersaing untuk menjadi yang terbaik dalam suatu bidang itu dengan standar tunggal yang disepakati umum dan disahkan oleh otoritas yang lebih tinggi dan menaungi giat tersebut. Jelas sudah sangat akrab dalam olahraga.

Tapi kita akan membicarakan acara saling memacu dan mengalahkan ini dalam ranah yang lain: musik. Betapa menggelikan di rimba persilatan musik Indonesia, dari akar rumput yang minor-lokal-junior sampai yang hebat-berskill tinggi-tua bangka tak punya malu namun ternama secara nasional, musik diamini untuk saling berlomba dengan segala rekayasa kriteria penilaian untuk menentukan yang terbaik dalam suatu acara yang dibikin-bikin pula aturannya. Saya belum pernah mendengar ada badan yang dibentuk untuk mengurusi kegiatan musik seperti halnya dalam olahraga ada KONI, FIFA, WBA, IBF, ABC, DEF dll. (dan kalau saya usul lebih baik memang tidak diadakan karena akan lebih absurd dan menggelikan). Standar apa yang memutuskan pemilihan band terbaik, player terbaik tiap disiplin alat (semacam man of the match dalam sepakbola mungkin?), dan ujung-ujungnya adalah kebanggan menjadi uber-alles di acara tersebut dan berhak atas klaim trofi, hadiah, dst.

Apakah yang berkemampuan aransemen rumit-ruwet-tilulit-titit-kluwer adalah yang terbaik? Atau justru yang lurus-rapi-lembut-mengayun syahdu? Pilih gitaris terbaik yang jarinya bisa memukul senar secara akurat dalam kecepatan setara api menyambar bensin atau yang kasar namun visinya avant garde? Jawaban anda masing-masing menyimpulkan tulisan ini: setiap kepala memiliki selera sendiri-sendiri. Dengan sendirinya tidak ada standar tunggal dalam musik apalagi pemecahan rekor seperti Asafa Powell di lintasan 100 meter.

Parahnya, pada level usia ikut-ikutan alias anggap saja kurang dari 15 tahun, seperti dipatok bahwa kompetisi musik ini adalah salah satu jalur meraih sukses bermusik, dan selalu ada saja pihak yang mengail di air keruh dengan menyelenggarakan lomba-lomba band, yang saya yakin bermuara pada keuntungan secara ekonomis. Efek show-biz memang, tapi norak dan kampungan.

Bila anda sepakat, musik adalah sesuatu yang ajaib sehingga untuk menikmati sangat tergantung pada yang namanya suka atau tidak. Sangat subyektifnya hingga tidak mungkin selera itu disepakatkan secara internasional seperti hasil akhir menetukan pemenang dengan menghitung jumlah gol dalam 2 x 45 menit.

Kegilaan ini sudah sangat mendarah daging dengan diikuti kegoblogan istilah yang lain: Kawan X berkata, ” Hei, ada festival band lho, hadiahnya 5 juta!”...huaahahaha.... sangat lucu mendengar bahwa festival sudah jadi beda disini dan bukan lagi menjadi fitrahnya yang sinonimnya (kalau tidak percaya mari kita berdebat) adalah perayaan, pesta, party, celebration. Maka bila kita lihat poster “FESTIVAL BAND BLA-BLA-YEAHHS!!! 2007”, mulailah membayangkan bahwa dalam sebuah pesta musik yang terjadi seharusnya adalah musisi, penyelenggara, sponsor dan penonton bahkan tukang parkir adalah pemenang, jadi tak perlu lagi ada trofi dan hadiah. Sumbangkan saja. Tidak perlu menganggap saya sinis karena saya juga pernah bodoh ikut lomba-lomba itu.

Retrologi

Pada sebuah forum yang amat terhormat bernama angkringan, seorang teman mengutarakan analisa yang hebat sekaligus membuat saya amat gelisah. Betapa tidak, ini menyangkut masa depan kehidupan musik dan segala industrinya di masa depan. Intinya menurut dia, kondisi perulangan tren musik kali ini sudah keterlaluan. “Kok bisa?” saya tanya. Pondasi pemikirannya bermula dari begitu banyaknya band atau musisi yang mengusung jenis musik yang pernah sukses ataupun setengah sukses ataupun tidak sukses dari masa lampau entah 10, 20 atau 30 tahun lalu, lengkap dengan selera aransemen, pilihan tata suara, gaya busana plus potongan rambut. Retro, begitu khalayak mengenalinya.

Lantas apa masalahnya? Kawan itu melanjutkan, apakah band/musisi itu memainkan gaya retro karena benar-benar berkomitmen total pada musik yang diulangnya dari daftar panjang sejarah musik dunia atau sekedar mengulang tren kesuksesan dari musisi lain karena memang sudah benar-benar kepentok dalam proses musik dan terlalu bodoh untuk menemukan formula baru dalam bermusik? Atau malah ikut-ikutan saja? (yang terakhir ini mending kelaut aja!). Itu baru secara teknis, belum membahas tentang yang lebih esensial seperti ideologi. Wah?

Kita masih bisa mengingat, setidaknya yang saya alami sendiri, betapa segarnya dunia musik ketika diperkenalkan musik yang dibawakan oleh sebuah grup bernama The Police, lalu dahsyatnya gempuran musik cadas di akhir 80-an sampai 90-an, lanjut dengan asiknya riff minimalis yang ringan agak berantakan namun sangat bertenaga seperti yang dibesut oleh Nirvana atau Pearl Jam. Itu baru contoh kecil dari ‘hanya’ 20 tahun terakhir. Proses musik seperti apa yang membuat mereka menemukan ramuan musik itu?

Indonesia mencatat sebuah grup yang sangat sukses dengan gaya 70-an. Ya, anda betul, Naif. Luar biasa menyaksikan sepak terjang mereka mengangkat diferensiasinya. Konsisten dan sungguh terasa bagaimana mereka bekerja dengan cintanya terhadap musik mereka. Lalu mulai muncul sebuah grup yang hanya tampilannya saja yang 80-an tapi saya sangat tidak yakin dengan komitmen mereka terhadap musik karena mereka lebih terasah sebagai penyiar lalu presenter yang gemar membanyol, bukannya musisi. Pasti anda tau, lah... 5000 dapet apaan? Yang macam begini yang mengkhawatirkan. Terlebih sekarang makin banyak saja yang ikut asik ber-retro-retroan. Bahkan lagu-lagu Naif pun sudah dibikin album a tribute to-nya. Hei, bangun! Tentu anda-anda semua lebih pintar dan bisa membedakan mana yang asik mana yang konyol.

Kawan jenius dari angkringan itu menambahkan, setelah milestone yang ditancapkan (ini hanya sebagian kecil, ya) Frank Sinatra, The Beatles, dan terakhir anggap saja Nirvana, musisi yang layak mendapat cap “gila, keren banget!!!” adalah Damon Albarn dengan proyek Gorillaz-nya. Tentu anda mengerti apa yang dimaksud. Kawan tadi meramalkan bahwa generasi 20 tahun kedepan akan mengagumi Damon seperti kita tak habis pikir tentang bagaimana John Lennon berkarya.

Kalau tidak segera ditemukan formula musik baru, yang sungguh-sungguh baru, bukan hanya nama pemberian media saja atau bahkan lebih nekat dengan menamai sendiri musiknya, kekhawatiran akan hancurnya industri musik jelas menghadang. Saya sudah mulai bosan dengan apa yang saya dengar tiap hari, dari radio, CD player, MP3 kawan, apalagi TV. Dan saya yakin banyak yang merasa bosan seperti saya. Bosan dengan segala perulangan. Tapi yang muncul dengan kampanye ‘extremely brand new’ cuma badut-badut fashion yang tidak jelas kemana juntrungnya. Wajar bila tiga tahun terakhir saya sangat jarang lagi membeli CD, bukan karena MP3, tapi saya terlanjur apatis dengan industri musik dan musisinya. Koleksi lagu lama saya masih sangat oke buat telinga. Dan entah kenapa sekarang begitu banyaknya lagu cover version? Gejala apa lagi? Gawat!!!

Mari Menikmati Musik

Anda tidak harus seorang musisi dan ini adalah sebuah pertanyaan standar: seberapa jauh anda sudah belajar tentang musik dan macam-macamnya? Seberapa jauh anda sudah mendalami ‘olah rasa’ bermusik itu? Untuk mempermudah mari kita petakan dengan sangat sederhana, apa saja unsur yang terdapat dalam karya musik alias lagu? Yang utama kira-kira adalah detak pembentuk irama, ramuan tata suara instrumen musik dan rangkaian kata-kata atau lirik. Sesederhana itukah? Jangan salah, tiga unsur tersebut bila dipadukan dengan komposisi tepat bisa menjadi kekuatan dahsyat dan membawa ekstase yang saya sendiri belum bisa mengidentifikasi pada bagian tubuh sebelah mana rasa nyaman itu menjalar.

Saking dahsyatnya, banyak perilaku menarik yang berhubungan dengan menikmati musik. Ini contoh dari beberapa kawan. Ada yang membuat playlist di Winamp dengan judul sesuai kegiatan yang akan dijalani hari itu, misalnya On The Go berisi lagu-lagu bersemangat, dst. Ada pula yang selalu menyiapkan backsound suasana hati dalam iPod-nya. Ada pula kawan yang berjudi dengan mood hari itu tergantung lagu apa yang didengarnya saat bangun tidur, ketika lagu pertama yang didengarnya adalah Perfect Day-nya Duran Duran, maka hancurlah harinya. Dan bayangkan bagaimana jika orang patah hati disodori Gloomy Sunday?

Sampai disini kita anggap merasa mengerti apa yang ingin disampaikan musisi melalui sebuah lagunya. Disini menariknya. Interpretasi tidak bisa diseragamkan. Tapi apakah tidak ada rencana dari sang pembuat lagu untuk menggiring pikiran penikmatnya ke arah pesan yang dirancang melalui nuansa dan lirik? Saya pikir iya. Apalagi bagi yang menumpangkan provokasi tertentu melalui mikrofon dalam lagu, walaupun rata-rata dalam area ini sangat eksplisit dan verbal karena targetnya agar mudah dipahami. Lalu bagaimana dengan yang lebih kontemplatif seperti Pink Floyd misalnya, atau bahkan sonata tanpa lirik yang dimainkan sebuah philharmonic orchestra? Apakah jenis-jenis ini hanya dinikmati di telinga saja? Apakah dentum trance deep house dari DJ-deck hanya bisa dinikmati dibawah pengaruh narkotika? Karena efek respon telinga saja bisa membuat jempol kaki bergoyang.

Musik jelas ajaib, bakat kecerdasan, koleksi referensi di perpustakaan otak dan kondisi terakhir toksifikasi syaraf (alias zat aditif apa yang anda tenggak barusan) membawa proses menikmati pada level yang lain pula.Bob Marley tak pernah membuat lagu berjudul No Woman, No Cry hanya sebagai lagu bodoh yang diartikan ‘tidak ada perempuan tak apa-apa’. Bila itu juga yang anda ketahui, anda memang harus lebih keras belajar tentang ‘olah rasa’ bermusik dan tentu saja Bahasa Inggris, hahaha...... Apalagi anda seorang musisi, hahahahaha......
suprsynthQuantcast