Semua tentang musik mengapa harus teknis, teknis dan teknis. Musisi, musisi dan musisi. Adakah ruang untuk membahas bagaimana pendengar, penonton konser dan pengunduh berpikir tentang musik? Tentang bagaimana secara manusiawi musik dengan segala budaya dan gaya hidupnya didengarkan? Adakah kajian jalanan yang sangat bajakan seperti mp3 yang mewabah, dihujat namun diunduh di belahan dunia manapun? Tempat ini mungkin inginnya seperti itu... hanya hampir... belum tepat sepenuhnya.

Pesta Bodoh Kompetisi Musik

Hanya bermodalkan sebuah Oxford Learner’s Pocket Dictionary, saya yakin dari kamus yang lain juga tidak berbeda jauh, maka bolehlah kira-kira begini: competition adalah kegiatan saling bersaing untuk menjadi yang terbaik dalam suatu bidang itu dengan standar tunggal yang disepakati umum dan disahkan oleh otoritas yang lebih tinggi dan menaungi giat tersebut. Jelas sudah sangat akrab dalam olahraga.

Tapi kita akan membicarakan acara saling memacu dan mengalahkan ini dalam ranah yang lain: musik. Betapa menggelikan di rimba persilatan musik Indonesia, dari akar rumput yang minor-lokal-junior sampai yang hebat-berskill tinggi-tua bangka tak punya malu namun ternama secara nasional, musik diamini untuk saling berlomba dengan segala rekayasa kriteria penilaian untuk menentukan yang terbaik dalam suatu acara yang dibikin-bikin pula aturannya. Saya belum pernah mendengar ada badan yang dibentuk untuk mengurusi kegiatan musik seperti halnya dalam olahraga ada KONI, FIFA, WBA, IBF, ABC, DEF dll. (dan kalau saya usul lebih baik memang tidak diadakan karena akan lebih absurd dan menggelikan). Standar apa yang memutuskan pemilihan band terbaik, player terbaik tiap disiplin alat (semacam man of the match dalam sepakbola mungkin?), dan ujung-ujungnya adalah kebanggan menjadi uber-alles di acara tersebut dan berhak atas klaim trofi, hadiah, dst.

Apakah yang berkemampuan aransemen rumit-ruwet-tilulit-titit-kluwer adalah yang terbaik? Atau justru yang lurus-rapi-lembut-mengayun syahdu? Pilih gitaris terbaik yang jarinya bisa memukul senar secara akurat dalam kecepatan setara api menyambar bensin atau yang kasar namun visinya avant garde? Jawaban anda masing-masing menyimpulkan tulisan ini: setiap kepala memiliki selera sendiri-sendiri. Dengan sendirinya tidak ada standar tunggal dalam musik apalagi pemecahan rekor seperti Asafa Powell di lintasan 100 meter.

Parahnya, pada level usia ikut-ikutan alias anggap saja kurang dari 15 tahun, seperti dipatok bahwa kompetisi musik ini adalah salah satu jalur meraih sukses bermusik, dan selalu ada saja pihak yang mengail di air keruh dengan menyelenggarakan lomba-lomba band, yang saya yakin bermuara pada keuntungan secara ekonomis. Efek show-biz memang, tapi norak dan kampungan.

Bila anda sepakat, musik adalah sesuatu yang ajaib sehingga untuk menikmati sangat tergantung pada yang namanya suka atau tidak. Sangat subyektifnya hingga tidak mungkin selera itu disepakatkan secara internasional seperti hasil akhir menetukan pemenang dengan menghitung jumlah gol dalam 2 x 45 menit.

Kegilaan ini sudah sangat mendarah daging dengan diikuti kegoblogan istilah yang lain: Kawan X berkata, ” Hei, ada festival band lho, hadiahnya 5 juta!”...huaahahaha.... sangat lucu mendengar bahwa festival sudah jadi beda disini dan bukan lagi menjadi fitrahnya yang sinonimnya (kalau tidak percaya mari kita berdebat) adalah perayaan, pesta, party, celebration. Maka bila kita lihat poster “FESTIVAL BAND BLA-BLA-YEAHHS!!! 2007”, mulailah membayangkan bahwa dalam sebuah pesta musik yang terjadi seharusnya adalah musisi, penyelenggara, sponsor dan penonton bahkan tukang parkir adalah pemenang, jadi tak perlu lagi ada trofi dan hadiah. Sumbangkan saja. Tidak perlu menganggap saya sinis karena saya juga pernah bodoh ikut lomba-lomba itu.

Tidak ada komentar:

suprsynthQuantcast