Semua tentang musik mengapa harus teknis, teknis dan teknis. Musisi, musisi dan musisi. Adakah ruang untuk membahas bagaimana pendengar, penonton konser dan pengunduh berpikir tentang musik? Tentang bagaimana secara manusiawi musik dengan segala budaya dan gaya hidupnya didengarkan? Adakah kajian jalanan yang sangat bajakan seperti mp3 yang mewabah, dihujat namun diunduh di belahan dunia manapun? Tempat ini mungkin inginnya seperti itu... hanya hampir... belum tepat sepenuhnya.

Bodoh atau Dibodohkan?

Apakah pendengar/penikmat musik Indonesia sebodoh yang dipetakan oleh industri besar musik? Menurut saya, dan apa yang saya temui di lingkungan saya, mulai yang terdekat sampai orang-orang yang hanya berkawan tanpa mengenal profil detilnya melalui forum-forum dunia maya tidak menunjukkan hal sedemikian. Saya tetap tidak paham bagaimana jalur utama industri musik mempercayai bahwa pendengar yang menyerap pasar terbesar dengan mudahnya menerima produk karya musik yang mereka yang mereka rilis dan promokan habis-habisan, yang secara jujur dan awam pun kita sudah sangat sulit untuk membedakan satu sama lain. Belum dibahas pula tentang kualitas yang kalau lagi-lagi mau jujur mengakui bahwa dagangan itu kelas ayam sayur. Kemasan promonya saja yang terkesan luxurious secara awam: tayang melalui stasiun televisi swasta dan berjualan nada sambung, seakan keduanya adalah jalan paling mujarab untuk memperkenalkan produk ke pasar.


Bila para produser besar itu berdalih bahwa produk musik yang aman untuk berjualan adalah yang easy-listening, saya sepakat. Gunung es konsumen menghendaki hal itu, dan inilah hukum ekonomi sederhana. Namun easy-listening bukanlah musik yang lalu malas berpikir membuat musik yang nyaman, lalu asal-asalan mudah murah produksinya. Saya semakin berprasangka buruk terhadap para penentu kebijakan pemilihan artis yang akan diorbitkan. Kemana sebenarnya tujuan mereka? Kalau murni hendak meraih keuntungan, bukankah secara gampang adalah menjual barang bermutu dengan promosi yang benar? Sedangkan hukum alaminya lagi, barang bermutu pasti dikulak dengan harga lebih mahal, untuk bisa dijual lebih mahal lagi dengan polesan investasi sana-sini. Maafkan kesinisan saya karena belakangan ini makin sering telinga kita dihajar oleh lagu-lagu kelas tempe bongkrek. Tidak semuanya memang. Ada beberapa musisi yang secara kenyamanan lagunya didengar, attitude wawancara yang cerdas, bahkan live performance yang ciamik, tidak mendapatkan porsi yang tepat di percaturan musik dalam negeri. Seharusnya karya mereka tak terbantahkan, tapi sepertinya industri memang tidak boleh jujur. Jawabannya selalu,"Tidak semua pendengar musik Indonesia sepintar kamu, pasar kita belum siap." Saya sangat tidak percaya hal ini. Bila anda lihat bagaimana trafik unduhan lagu-lagu yang tidak populer menunjukkan angka yang signifikan dari IP Address yang berdomisili Indonesia, jelas apa yang dikemukakan: PENIKMAT MUSIK INDONESIA KIAN HARI KIAN PANDAI!


Memang, karya berhubungan dengan penjualan, namun produk dan promosi bisa di-breakdown menjadi hal yang terpisah secara garis kerja. Bahasa mudahnya: bila yang jelek-jelek itu bisa laku dengan promo yang benar, bukankah akan lebih sukses untuk produk yang bermutu tinggi? Kapital yang besar bila diinvestasikan di barang yang benar bukankah lebih menguntungkan?

Mengutip kata seorang kawan lama,"Apakah kita berada di kereta yang sama, kawan?"

Mari Kita Kepung Musik Indonesia

Saya pusing, lagi - lagi karena acara musik di televisi Indonesia tercinta. Sekali - sekalinya saya mencoba mengupdate tentang grup dan musisi yang semakin gila banyaknya, -- yang Bens Leo sampai menyebutkan bahwa Indonesia adalah negeri seribu band dilihat dari 3000 demo album musik yang masuk ke mejanya dalam tiga bulan saja -- saya malah sedih melihat acara TV yang berisi penampilan live dan video klip dari musisi kita sekarang ini.

Mulanya begini, saya segarkan pikiran dan mulai menyaksikan. Band pertama, lagu beraransemen pop aman, lirik berbahasa mudah, personilnya manis - manis walaupun kalau dilihat gesturnya agak tidak musikal karena lebih mirip cover boy. Walaupun saya tidak berhasil mengingat bagian terhebat yang ada dalam lagu itu yang mungkin ada di reffrain-nya, saya masih bertahan. Lanjut ke video klip grup berikutnya, kok lagunya, warna vokalnya, gimmick beat, bahkan fashionnya hampir mirip ya? Setelah iklan, grup penampil langsung selanjutnya disambung grup lagi berikutnya. Disini saya merasakan kejanggalan. Sekiranya host acara tidak menyebutkan bahwa band berganti, atau label nama band dan judul lagu tidak ditampilkan di layar, saya terpaksa menyatakan bahwa dua lagu dari dua grup yang berbeda itu sangat pantas dirampai dalam satu album. Atau lebih ekstrimnya begini: tidak ada perbedaan atau variasi yang bisa membedakan keduanya. Siapa mengikuti siapa? Atau dua-duanya juga cuma hanyut dalam selera yang diharapkan bisa laku di pasaran? Tapi kalau pendengar pun tak mampu membedakan, mana bisa mereka dipilih oleh pendengar?

Apa yang terdengar belakangan ini, sebuah grup sukses dengan gaya menyanyi melayu. Masalahnya bukan disitu. Itulah gaya dan karakter mereka. Tapi kok tiba - tiba banyak yang ikut - ikut dan berharap ikut laku juga. Musik seperti cabang seni yang lain, adalah tentang kreatifitas juga. Kalau belum mampu menemukan yang baru, gali saja dari sekian banyak pola kesuksesan grup lama, kemudian mix and match, tambahkan beberapa unsur kecerdasan alami, dan tentu saja kejujuran terhadap karakter pribadi. Bukan hal yang susah bila anda menganggap diri anda seorang musisi yang harus bertnggungjawab terhadap profesi dan tidak malas untuk belajar. Sukses tidak akan instan, proses menentukan hasil.

Disini tidak akan diributkan apakah ini ulah industri musik atau bukan. Produser adalah orang - orang yang memikirkan dan mempengaruhi bisnis musik yang akhirnya menghidupi musisinya juga. Tapi kekuatan industri juga bisa digoyang oleh pelaku musik sendiri untuk mengepungnya dengan karya - karya yang ciamik. Ingatkah anda gerakan pop kreatif 80an yang digawangi Dian PP dan Dedi Dukun, Fariz RM dengan Jakarta Rhythm Section, Indra Lesmana, Imaniar dan lain - lainnya yang waktu itu bertujuan mengepung pop cengeng dan bereksplorasi sendiri - sendiri namun dengan gerakan yang kolektif agar musik pop Indonesia lebih variatif. Dan hasilnya adalah karya abadi yang sampai sekarang masih sangat enak didengarkan. Inilah saat yang tepat untuk mencetuskan hal yang sama. Apalagi dengan keunggulan teknologi informasi saat ini. Dan untuk saya pribadi, akhirnya mencari dengar musik di lokasi selain televisi jadi sangat menyenangkan, lebih banyak yang stand out of the crowd walaupun kurang terpublikasi oleh media jalur utama. Syukurlah masih ada yang tidak malas berpikir dan mari kita kepung musik Indonesia.
suprsynthQuantcast