Semua tentang musik mengapa harus teknis, teknis dan teknis. Musisi, musisi dan musisi. Adakah ruang untuk membahas bagaimana pendengar, penonton konser dan pengunduh berpikir tentang musik? Tentang bagaimana secara manusiawi musik dengan segala budaya dan gaya hidupnya didengarkan? Adakah kajian jalanan yang sangat bajakan seperti mp3 yang mewabah, dihujat namun diunduh di belahan dunia manapun? Tempat ini mungkin inginnya seperti itu... hanya hampir... belum tepat sepenuhnya.

Manusia Jaman Kaset

Saya masih ingat dengan jelas, dan sampai sekarang pun masih banyak di boks yang sudah tidak pernah saya buka, saya punya koleksi kaset yang lumayan banyak. Ya, kaset, bukan CD apalagi MP3 seperti yang sekarang menemani saya menulis. Karena saya memang anak jaman era itu, yang cara memanjakan kebutuhan telinga dan menambah pengetahuan tentang musik hanya bisa diakses melalui radio, toko kaset dan Majalah HAI. Lucu memang, waktu itu tidak ada referensi selain HAI, walaupun kadang bisa membaca Circus atau Kerraaang!! dari koleksi om saya atau teman-temannya walaupun mereka beli bekas dari pasar loak. Lumayan lah buat tambah ngerti tentang sedang ada apa di musik dunia walaupun yang dibaca adalah kabar setengah tahun sebelumnya. Setiap membaca majalah, saya selalu iri pada wartawan yang bisa masuk konser untuk liputan, terutama sama Daus HAI, yang ID card wartawannya selalu dilampirkan juga di setiap tulisannya. Saya menganggap dia adalah sumber info musik mancanegara, karena tidak ada internet seperti sekarang yang kita bisa googling kabar, lanjut mengunduh lagu terbaru dari suatu grup bahkan sebelum albumnya dirilis. Jadi wajarlah bila koleksi lagu orang-orang kini lebih fokus, tertata secara selera. Tidak seperti koleksi kaset saya dulu yang kalau dilihat teman saya sekarang jadi tertawaan karena dianggap labil selera musik saya, ada hip hop, banyak rock dan metal, saya punya boyz II men, dan macam-macam lain sampai ada beberapa kaset lawak.

Itu semua terjadi karena susahnya cari referensi waktu itu. Kalau pernah dengar di radio, lumayan ada pratinjau terhadap lagu dan artisnya, jadi tenang ketika datang ke toko kaset, sudah tahu akan membeli apa. Tapi lama kelamaan saya mau lebih, saya datang ke toko kaset dengan uang secukupnya dan kepala kosong mau beli apa. Ketika saya menginginkan rock, saya cari di deretan raknya. Beberapa toko rela membuka sample untuk didengarkan calon pembeli, tapi banyak album yang tidak disokong dengan marketing budget. Saya pernah untung-untungan beli kaset yang saya belum pernah dengar samasekali dan memutuskannya lewat logo grupnya yang sangar, dan ketika sampai dirumah saya kegirangan karena ternyata saya suka. Kemudian harinya saya salah beli kaset hanya karena hal serupa, nama grupnya tidak mencerminkan lagu-lagu yang dibawakannya, sejak itu saya kenal hip hop. Begitu mahalnya belajar di masa lalu.

Masih ditambah dengan ketika inside cover albumnya tidak melampirkan lirik, saya harus mati-matian mencatat lirik dalam Bahasa Inggris, merusak tape saya dengan berulang-ulang menekan pause-rewind-play karena kemampuan bahasa asing saya yang pas-pasan demi bisa mengerti maksud lagunya dan bisa sing along bersama lagu yang saya sukai. Man, waktu itu belum ada lyric search!

Sekarang saya malah kendor mengikuti perkembangan musik, justru ketika kendala-kendala masa lalu untuk belajar itu sudah tidak signifikan. Apa sih yang google tidak tahu? Saya keteteran beradu pengetahuan dengan anak jaman internet sekarang ini. Saya manggut-manggut saja dengar cerita mereka tentang grup ini, penyanyi itu, DJ entahlah, hebat sekali mereka, baru setelah itu saya mengejar sekuatnya. Nasib yang tragis, dahulu kesulitan sekarang tertinggal. Terus kalau ada revolusi teknologi sekali lagi, jadi apa? Apakah orang seperti saya akan kadaluarsa?

Tidak ada komentar:

suprsynthQuantcast